Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Belajar Konstruktivisme menurut Jean Piaget dan Vygotsky

Dalam belajar dan pembelajaran, banyak sekali teori belajar yang bisa dipelajari dan dipakai. Seperti teori belajar behavioristik, humanistik, konstruktivistik, koneksionisme dan sebagainya. Nah, kali ini kita akan membahas tentang teori belajar konstruktivisme.

Berbeda dengan teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistik, teori Belajar Konstruktivisme memandang bahwa belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. 

Pembentukan ini harus dilakukan oleh orang yang belajar tersebut (siswa). Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Untuk lebih lengkapnya, sebagai berikut.

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. 

Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
  1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
  2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
  3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
  4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
  5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
  6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. 

Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).

Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.

Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget

Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. 

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:

1. Skemata 

Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. 

Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.

2. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. 

Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.

3. Akomodasi

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. 

Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

4. Keseimbangan

Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky

Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.

Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

1. Pengelolaan pembelajaran

Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. 

Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.

2. Pemberian bimbingan

Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya.

Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

Tiga Konsep Utama Konstruktivisme

1. Hukum Genetik tentang Perkembangan

Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya di lihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran sosial (interpsikologis dan intermental) dan tataran psikologis (intrapsikologis).

Di mana tataran sosial di lihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang bersangkutan.

Teori Belajar Konstruktivisme menenpatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang di yakini muncul dai kehidupan sosialnya.

Sementara itu, intramental dalam hal ini di pandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses internalisasi.

Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir.

Secara spesifik, namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.

2. Zona Perkembangan Proksimal

Zone Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky.

Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level perkembangan aktual’ yang dapat di nilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut.

Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang di tentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang di tentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu.

Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti yang di kutip oleh Luis C. Moll (1993: 157) :

Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-fungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu.

Fungsi-fungsi tersebut dapat di istilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang di bandingkan dengan “buah” perkembangan.

Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran, yaitu :
  1. Tahap 1 : Tindakan anak masih di pengaruhi atau di bantu orang lain. Seorang anak yang masih di bantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang di tunjukkan orang dewasa
  2. Tahap 2 : Tindakan anak yang di dasarkan atas inisiatif sendiri. Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru memasangkan kancing.
  3. Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi. Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus di lakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
  4. Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus di ulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak. Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi di dasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang di lakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah
Pada empat tahapan ini dapat di simpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang di berikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.

3. Mediasi

Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang di gunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu,

Tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang di gunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini di dapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian di buat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang di maksudkan;

Scoffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang di gunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini di dapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator.

Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak di bantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham. Wertsch berpendapat bahwa: Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi mental di dasari oleh tema mediasi semiotik.

Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.

Karakteristik Teori Konstruktivisme

4 Karakteristik pembelajaran berdasarkan Teori Belajar Kontruktivisme, yakni sebagai berikut.
  1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah di tetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
  2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
  3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
  4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola.

Prinsip Teori Konstruktivisme

Prinsip-prinsip utama Teori Belajar Konstruktivisme yang banyak di gunakan dalam pendidikan adalah sebagai berikut.
  1. Pengetahuan di bangun oleh siswa secara aktif
  2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
  3. Mengajar adalah membantu siswa belajar
  4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
  5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
  6. Guru adalah fasilitator

Perspektif dalam Teori Konstruktivisme

1. Konstruktivisme Eksogeneus.

Konstruktivisme eksogeneus mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan pengetahuan merepresentasikan sebuah kosntruksi ulang dari struktur-struktur yang berbeda dalam dunia eksternal.

Pandangan ini mendasarkan pengaruh kuat dari dunia luar pada konstruksi pengetahuan, seperti pengalaman-pengalaman, pengajaran dan pengamatan terhadap model-model.

2. Konstruktivisme Endogenus.

Konstruktivisme endogenus menekankan pada koordinasi tindakan-tindakan yang sebelumnya, bukan secara langsung dari informasi lingkungan. Karena itu, pengetahuan bukanlah cerminan dari dunia luar yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman, pengajaran, atau interaksi sosial.

Pengetahuan berkembang melalui aktifitas kognitif dari abstraksi dan mengikuti sebuah rangkaian yang dapat diprediksikan secara umum.

3. Konstruktivisme Dialektikal.

Konstruktivisme dialektikal berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh melalui sekolah akan tetapi bisa juga di dapatkan melalui saling berinteraksi sesama teman, guru, tetangga dan bahkan lingkungan sekitar kita.

Selain itu juga interpretasinya tidak terikat dengan dunia luar. Bahkan pengetahuan atau pemahaman timbul akibat saling berlawanan mental dari interaksi antara lingkungan sekitar dengan seseorang.

Dari ketiga pandang tersebut memiliki kelebihan masing-masing, seperti konstruktivisme eksogeneus yaitu untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan seorang siswa terhadap ilmu tertentu secara akurat dan terperinci.

Kemudian konstruktivisme endogenus yaitu untuk mengetahui sejauh mana penguasaan materi secara terstruktur mulai dari yang paling bawah sampai dengan yang paling tinggi.

Sedangkan konstruktivisme dialektikal digunakan ketika guru atau pendidik ingin merencanakan itervensi-intervensi untuk mendorong pemikiran siswa dan untuk mengarahkan penelitian untuk menemukan efektifitas dari pengaruh-pengaruh sosial seperti paparan terhadap model-model dan kerja sama dengan teman sebaya.

Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).

Kelebihan Teori Konstruktivisme

Hidup ini, tidak ada yang sempurna ada kebaikan ada juga keburukan, begitu juga dengan sebuah teori. Tidak ada teori yang sempurna akan tetapi saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainya begitu juga konstruktivisme.

Adapun 6 kelebihan teori konstruktivisme di antaranya adalah:
  • Pertama, guru bukan satu-satunya sumber belajar.
  • Kedua, siswa (pembelajaran) lebih aktif dan kreatif.
  • Ketiga, pembelajaran menjadi lebih bermakna.
  • Keempat, pembelajaran memiliki kebebasan dalam belajar.
  • Kelima, perbedaan individual terukur dan di hargai.
  • Keenam, guru berfikir proses membina pengetahuan baru, siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.

Kekurangan Teori Konstruktivisme

5 Kekurangan dari teori belajar konstruktivisme berdasarkan berbagai sumber rujukan yakni sebagai berikut.
  • Pertama, proses belajar konstruktivisme secara konseptual adalah proses belajar yang bukan merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan
  • akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran sruktur kognitif.
  • Kedua, peran siswa. Menurut pandangan ini, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan.
  • Ketiga, peran guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
  • Keempat, sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peran utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri.
  • Kelima, evaluasi, pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.